28 Juni 2011

puisi sapardi djoko damono

"dalam diriku mengalir sungai panjang,
darah namanya;
dalam diriku menggenang telaga darah,
sukma namanya;
dalam diriku meriak gelombang sukma,
hidup namanya;
dan karena hidup itu indah,
aku menangis sepuas-puasnya"
Sapardi Djoko Damono (Hujan bulan Juni: Pilihan sajak)

HUJAN BULAN JUNI

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
***

SAJAK KECIL TENTANG CINTA
mencintai angin harus menjadi siut
mencintai air harus menjadi ricik
mencintai gunung harus menjadi terjal
mencintai api harus menjadi jilat
mencintai cakrawala harus menebas jarak
mencintaiMu(mu) harus menjadi aku
***


DALAM BIS
langit di kaca jendela bergoyang
terarah kemana wajah di kaca jendela
yang dahulu juga
mengecil dalam pesona
sebermula adalah kata
baru perjalanan dari kota ke kota
demikian cepat
kita pun terperanjat
waktu henti ia tiada
***


BUAT NING

pasti datangkah semua yang di tunggu
detikdetik berjajar pada mistar yang panjang
barangkali tanpa salam terlebih dahulu
januari mengeras di tembok itu juga
lalu desember
musim pun masak sebelum menyala cakrawala
tibatiba kita bergegas pada jemputan itu
***


DALAM DIRI KU
dalam diriku mengalir
sungai panjang
darah namanya
dalam diriku menggenang
telaga darah
sukma namanya
dalam diriku meriak
gelombang suara
hidup namanya
dan karena hidup itu indah
aku menangis sepuas-puasnya
***


GADIS KECIL

ada gadis kecil diseberangkan gerimis
di tangan kanannya bergoyang payung
tangan kirinya mengibas tangis
di pinggir pagar, ada pohon
dan seokor burung
***


HUTAN KELABU
kau pun kekasihku
langit di mana berakhir setiap pandangan
bermula kepedihan rindu ini
temaram kepadaku semata
memutih dari seribu warna
hujan senandung dalan hutan
lalu kelabu menabuh nyanyian
***


KETIKA JARI-JARI BUNGA TERLUKA
ketika jarijari bunga terluka
mendadak terasa betapa sengit, cinta kita
cahaya bagai kabut, kabut cahaya
di langit menyisih awan hari ini
di bumi meriap sepi yang purba
ketika kemarau terasa ke bulubulu mata
suatu pagi, di sayap kupukupu
di sayap warna, suara burung
di rantingranting cuaca
bulubulu cahaya
betapa parah cinta kita
mabuk berjalan diantara
jerit bungabunga rekah
ketika jarijari bunga terbuka
mendadak terasa betapa sengit, cinta kita
cahaya bagai kabut, kabut cahaya
di langit meyisih awan hari ini
di bumi meriap sepi yang purba
ketika kemarau terasa ke bulubulu mata
***


PADA SUATU HARI NANTI

pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam baitbait sajak ini
kau tak akan kurelakan sendiri
pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi diantara larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati
pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di selasela huruf sajak ini
kau tak akan letihletihnya kucari
***


AKULAH SI TELAGA
akulah si telaga:
Berlayarlah di atasnya;
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil
yang menggerakkan bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja
– perahumu biar aku yang menjaganya
***


ANGIN 1

angin yang diciptakan untuk senantiasa bergerak
dari sudut ke sudut dunia ini pernah
pada suatu hari
berhenti ketika mendengar suara nabi kita
adam menyapa istrinya untuk pertama kali,
“hei siapa ini yang mendadak di depanku?”
angin itu tersentak kembali
ketika kemudian terdengar jerit wanita untuk pertama kali,
sejak itu ia terus bertiup tak pernah menoleh lagi
– sampai pagi tadi:
Ketika kau bagai terpesona
sebab tiba-tiba merasa scorang diri
di tengah bising-bising ini tanpa hawa
***


ANGIN 2

angin pagi menerbangkan sisa-sisa unggun api
yang terbakar semalaman.
Seekor ular lewat, menghindar.
Lelaki itu masih tidur.
Ia bermimpi bahwa perigi tua yang tertutup ilalang panjang
di pekarangan belakang rumah itu tiba-tiba berair kembali.
***


ANGIN 3
“seandainya aku bukan ……
Tapi kau angin!
Tapi kau harus tak letih-letihnya beringsut
dari sudut ke sudut kamar,
menyusup celah-celah jendela,
berkelebat di pundak bukit itu.
“seandainya aku . . . ., .”
tapi kau angin!
Nafasmu tersengal
setelah sia-sia menyampaikan padaku
tentang perselisihan
antara cahaya matahari
dan warna-warna bunga.
“seandainya ……
Tapi kau angin!
Jangan menjerit:
Semerbakmu memekakkanku.
***


CERMIN 1
“seandainya aku bukan ……
Tapi kau angin!
Tapi kau harus tak letih-letihnya
beringsut dari sudut ke sudut kamar,
menyusup celah-celah jendela,
berkelebat di pundak bukit itu.
“seandainya aku . . . ., .”
tapi kau angin!
Nafasmu tersengal setelah sia-sia
menyampaikan padaku tentang perselisihan
antara cahaya matahari dan warna-warna bunga.
“seandainya ……
Tapi kau angin!
Jangan menjerit:
Semerbakmu memekakkanku.
***


CERMIN 2
mendadak kau mengabut dalam kamar, mencari dalam cermin;
tapi cermin buram kalau kau entah di mana,
kalau kau mengembun dan menempel di kaca,
kalau kau mendadak menetes dan tepercik ke mana-mana;
dan cermin menangkapmu sia-sia
DI ATAS BATU
ia duduk di atas batu dan melempar-lemparkan kerikil ke tengah kali
ia gerak-gerakkan kaki-kakinya di air sehingga memercik ke sana ke mari
ia pandang sekeliling :
Matahari yang hilang – timbul di sela goyang daun-daunan,
jalan setapak yang mendaki tebing kali, beberapa ekor capung
– ia ingin yakin bahwa benar-benar berada di sini
***


DI SEBUAH HALTE BIS

hujan tengah malam membimbingmu
ke sebuah halte bis dan membaringkanmu di sana.
Kau memang tak pernah berumah,
dan hujan tua itu kedengaran terengah batuk-batuk dan tampak putih.
Pagi harinya
anak-anak sekolah yang menunggu di halte bis itu
melihat bekas-bekas darah dan mencium bau busuk.
Bis tak kunjung datang.
Anak-anak tak pernah bisa sabar menunggu.
Mereka menjadi kesal dan, bagai para pemabok,
berjalan sempoyongan sambil melempar-lemparkan buku
dan menjerit-jerit menyebut-nyebut namamu.
***


PERTAPA
jangan mengganggu:
Aku, satria itu,
sedang bertapa dalam sebuah gua,
atau sebutir telur, atau.
Sepatah kata
– ah, apa ada bedanya.
Pada saatnya nanti, kalau aku sudah dililit akar,
sudah merupakan benih,
sudah mencapai makna
– masih beranikah kau menyapaku, saudara?
***


SETANGAN KENANGAN
siapakah gerangan
yang sengaja menjatuhkan setangan
di lorong yang berlumpur itu.
Soalnya, tengah malam
ketika seluruh kota kena sihir menjelma hutan kembali,
ia seperti menggelepar- gelepar
ingin terbang
menyampaikan pesan
kepada rama tentang rencana
***


SERULING

seruling bambu itu membayangkan ada yang meniupnya,
menutup-membuka lubang-lubangnya,
menciptakan pangeran dan putri dari kerajaan-kerajaan
jauh yang tak terbayangkan merdunya ….
Ia meraba-raba lubang-lubangnya sendiri
yang senantiasa menganga.
***


SAJAK TELUR

dalam setiap telur
semoga ada burung dalam setiap burung
semoga ada engkau dalam setiap engkau
semoga ada yang senantiasa terbang
menembus silau matahari memecah udara dingin
memuncak ke lengkung langit
menukik melintas sungai
merindukan telur
***


SAJAK SUBUH

Waktu mereka membakar gubuknya awal subuh itu
ia baru saja bermimpi tentang mata air.
Mereka berteriak, “Jangan bermimpi!” dan ia terkejut tak mengerti.
Sejak di kota itu ia tak pernah sempat bermimpi.
Ia ingin sekali melihat kembali warna hijau dan mata air,
tetapi ketika untuk pertama kalinya.
Ia bermimpi subuh itu, mereka membakar tempat tinggalnya.
“Jangan bermimpi!” gertak mereka.
Suara itu terpantul di bawahjembatan dan tebing-tebing sungai.
Api menyulut udara lembar demi lembar,
lalu meresap ke pori-pori kulitnya.
Ia tak memahami perintah itu
dan mereka memukulnya, “Jangan bermimpi! “
Ia rubuh dan kembali bermimpi tentang mata air dan …..
***


PUISI CAT AIR

angin berbisik kepada daun jatuh
yang tersangkut kabel telpon itu,
“aku rindu, aku ingin mempermainkanmu! “
kabel telpon memperingatkan angin
yang sedang memungut daun itu
dengan jari-jarinya gemas,
“jangan berisik, mengganggu .
hujan!”
hujan meludah di ujung gang
lalu menatap angin dengan tajam,
hardiknya, ‘lepaskan daun itu!”
***


PESTA
pesta berlangsung sederhana.
Sedikit tangis, basa-basi itu;
tinggal bau bunga gemetar pada tik-tok jam,
ingin mengantarmu sampai ke tanah-tanah sana
yang sesekali muncul dalam mimpi-mimpinya
. . . di sumur itu,
si Pembunuh membasuh muka, tangan, dan kakinya
***


PERAHU KERTAS
waktu masih kanak-kanak
kau membuat perahu kertas
dan kau layarkan di tepi kali;
alirnya sangat tenang,
dan perahumu bergoyang menuju lautan.
“ia akan singgah di bandar-bandar besar,” kata seorang lelaki tua.
Kau sangat gembira,
pulang dengan berbagai gambar warna-warni di kepala.
Sejak itu kau pun menunggu
kalau-kalau ada kabar dari perahu
yang tak pernah lepas dari rindu-mu itu.
Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, nuh, katanya,
“telah kupergunakan perahumu itu
dalam sebuah banjir besar
dan kini terdampar di sebuah bukit.”
***


KAMI BERTIGA
dalam kamar ini kami bertiga :
Aku, pisau dan kata –
kalian tahu, pisau barulah pisau kalau ada darah di matanya
tak peduli darahku atau darah kata
***


MATA PISAU
mata pisau itu tak berkejap menatapmu
kau yang baru saja mengasahnya
berfikir: Ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam;
ia berkilat
ketika terbayang olehnya urat lehermu
***


KUTERKA GERIMIS
kuterka gerimis mulai gugur
kaukah yang melintas di antara korek api dan ujung rokokku
sambil melepaskan isyarat
yang sudah sejak lama kulupakan kuncinya itu
seperti nanah yang meleleh
dari ujung-ujung jarum jam dinding
yang berhimpit ke atas itu
seperti badai rintik-rintik yang di luar itu
***


KISAH
Kau pergi,
sehabis menutup pintu pagar
sambil sekilas menoleh namamu sendiri
yang tercetak di plat alumunium itu.
Hari itu musim hujan
yang panjang dan sejak itu
mereka tak pernah melihatmu lagi.
Sehabis penghujan reda,
plat nama itu ditumbuhi lumut sehingga tak bisa terbaca lagi.
Hari ini seorang yang mirip denganmu
nampak berhenti di depan pintu pagar rumahmu,
seperti mencari sesuatu.
la bersihkan lumut dari plat itu,
Ialu dibacanya namamu nyaring-nyaring.
Kemudian ia berkisah padaku
tentang pengembaraanmu.
***


HATIKU SELEMBAR DAUN
hatiku selembar daun
melayang jatuh di rumput;
nanti dulu,
biarkan aku sejenak terbaring di sini;
ada yang masih ingin kupandang,
yang selama ini senantiasa luput;
sesaat adalah abadi
sebelum kau sapu tamanmu setiap pagi.
***


GONGGONG ANJING
gonggong anjing itu
mula-mula lengket di lumpur
lalu merayapi pohon cemara
dan tergelincir terbanting di atas rumah
menyusup lewat celah-celah genting
bergema dalam kamar demi kamar
tersuling lewat mimpi seorang anak lelaki
siapa itu yang bernyanyi bagai bidadari?”
tanya sunyi
***


TAJAM HUJANMU
tajam hujanmu
ini sudah terlanjur mencintaimu:
Payung terbuka yang bergoyang-goyang di tangan kananku,
air yang menetes dari pinggir-pinggir payung itu,
aspal yang gemeletuk di bawah sepatu,
arloji yang buram berair kacanya,
dua-tiga patah kata yang mengganjal di tenggorokan
deras dinginmu
sembilu hujanmu
***


SUDAH KUTEBAK
sudah kutebak kedatanganmu.
Seperti biasanya,
kau berkias tentang sepasang ikan
yang menyambar-nyambar umpan sedikit demi sedikit,
menggosok-gosokkan tubuh di karang-karang,
menyambar, berputar-putar membuat lingkaran,
menyambar, mabok membentur batu-batuan.
Kutebak si pengail masih terkantuk-kantukdi tepi sungai itu.
Sendirian.
***


TENTANG MATAHARI
matahari yang di atas kepalamu itu
adalah balonan gas yang terlepas dari tanganmu
waktu kau kecil, adalah bola lampu
yang di atas meja ketika kau menjawab surat-surat
yang teratur kau terima dari sebuah alamat,
adalah jam weker yang berdering
sedang kau bersetubuh,
adalah gambar bulan
yang dituding anak kecil itu sambil berkata :
“ini matahari! Ini matahari!”
matahari itu? Ia memang di atas sana
supaya selamanya kau menghela
bayang-bayanganmu itu.
***


PADA SUATU PAGI
maka pada suatu pagi hari
ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu.
Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik
dan lorong sepi
agar ia bisa berjalan sendiri saja
sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.
Ia tidak ingin menjerit-jerit
berteriak-teriak
mengamuk memecahkan cermin
membakar tempat tidur.
Ia hanya ingin menangis lirih saja
sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-rintik
di lorong sepi pada suatu pagi.
***


SONET: X
siapa menggores di langit biru
siapa meretas di awan lalu
siapa mengkristal kabut itu
siapa mengertap di bunga layu
siapa cerna di warna ungu
siapa bernafas di detak waktu
siapa berkelebat setiap kubuka pintu
siapa mencair di bawah pandangku
siapa terucap di celah kata-kataku
siapa mengaduh di baying-bayang sepiku
siapa tiba menjemputku berburu
siapa tiba-tiba menyibak cadarku
siapa meledak dalam diriku
: Siapa aku
***


DALAM DOA
saat tiada pun tiada
aku berjalan (tiada
gerakan, serasa
isyarat) kita pun bertemu
sepasang tiada
tersuling (tiada
gerakan, serasa
nikmat): Sepi meninggi.