Pengertian
Pengertian Dewasa akhir (lansia) menurut beberapa ahli:
Menurut J.W. Santrock (J.W.Santrock, 2002, h.190), ada dua pandangan
tentang definisi orang lanjut usia atau lansia, yaitu menurut pandangan
orang barat dan orang Indonesia. Pandangan orang barat yang tergolong
orang lanjut usia atau lansia adalah orang yang sudah berumur 65 tahun
keatas, dimana usia ini akan membedakan seseorang masih dewasa atau
sudah lanjut. Sedangkan pandangan orang Indonesia, lansia adalah orang
yang berumur lebih dari 60 tahun. Lebih dari 60 tahun karena pada umunya
di Indonesia dipakai sebagai usia maksimal kerja dan mulai tampaknya
ciri-ciri ketuaan.
• Menurut Hurlock (2002), tahap terakhir dalam perkembangan ini dibagi
menjadi usia lanjut dini yang berkisar antara usia enampuluh sampai
tujuh puluh tahun dan usia lanjut yang dimulai pada usia tujuh puluh
tahun hingga akhir kehidupan seseorang. Orangtua muda atau usia tua
(usia 65 hingga 74 tahun) dan orangtua yang tua atau usia tua akhir (75
tahun atau lebih) (Baltes, Smith&Staudinger, Charness&Bosmann)
dan orang tua lanjut (85 tahun atau lebih) dari orang-orang dewasa
lanjut yang lebih muda (Johnson&Perlin).
Penggolongan lansia menurut Depkes dikutip dari Azis (1994) menjadi tiga
kelompok yakni:
Kelompok lansia dini (55 – 64 tahun), merupakan kelompok yang baru
memasuki lansia.
Kelompok lansia (65 tahun ke atas).
Kelompok lansia resiko tinggi, yaitu lansia yang berusia lebih dari 70
tahun.
Ciri-ciri dewasa akhir
Adanya periode penurunan atau kemunduran. Yang disebabkan oleh faktor
fisik dan psikologis.
Perbedaan individu dalam efek penuaan. Ada yang menganggap periode ini
sebagai waktunya untuk bersantai dan ada pula yang menganggapnya
sebagai hukuman.
Ada stereotip-stereotip mengenai usia lanjut. Yang menggambarkan masa
tua tidaklah menyenangkan.
Sikap sosial terhadap usia lanjut. Kebanyakan masyarakat menganggap
orang berusia lanjut tidak begit dibutuhkan katena energinya sudah
melemah. Tetapi, ada juga masyarakat yang masih menghormati orang yang
berusia lanjut terutama yang dianggap berjasa bagi masyarakat sekitar
Mempunyai status kelompok minoritas. Adanya sikap sosial yang negatif
tentang usia lanjut.
Adanya perubahan peran. Karena tidak dapat bersaing lagi dengan
kelompok yang lebih muda.
Penyesuaian diri yang buruk. Timbul karena adanya konsep diri yang
negatif yang disebabkan oleh sikap sosial yang negatif.
Ada keinginan untuk menjadi muda kembali. Mencari segala cara untuk
memperlambat penuaan.
Tugas Perkembangan dewasa akhir
Adapun tugas perkembangan pada masa dewasa akhir ini, diantaranya:
• Menciptakan kepuasan dalam keluarga sebagai tempat tinggal di hari
tua.
• Menyesuaikan hidup dengan penghasilan sebagai pensiunan
• Membina kehidupan rutin yang menyenangkan.
• Saling merawat sebagai suami-istri
• Mampu menghadapi kehilangan (kematian) pasanan dengan sikap yang
positif (menjadi janda atau duda).
• Melakukan hubungan dengan anak-anak dan cucu-cucu.
• Menemukan arti hidup dengan nilai moral yang tinggi.
DINAMIKA PERKEMBANGAN
Fisik
Perkembangan fisik pada masa lansia terlihat pada perubahan perubahan
fisiologis yang bisa dikatakan mengalami kemunduran, perubahan perubahan
biologis yang dialami pada masa lansia yang terlihat adanya kemunduran
tersebut sangat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan dan terhadap
kondisi psikologis.
Menurut Hurlock (1980) terjadi perubahan fisik berupa penampilan pada
usia dewasa akhir, diantanya adalah :
1. Daerah kepala
Hidung menjulur lemas
Bentuk mulut akan berubah karena hilangnya gigi
Mata kelihatan pudar
Dagu berlipat dua atau tiga
Kulit berkerut/keriput dan kering
Rambut menipis dan menjadi putih
• Daerah Tubuh
Bahu membungkuk dan tampak mengecil
Perut membesar dan tampak membuncit
Pinggul tampak mengendor dan tampak lebih besar
Garis pinggang melebar
Payudara pada wanita akan mengendor
3. Daerah persendian
Pangkal tangan menjadi kendor dan terasa berat
Kaki menjadi kendor dan pembuluh darah balik menonjol
Tangan menjadi kurus kering
Kaki membesar karena otot-otot mengendor
Kuku tangan dan kaki menebal, mengeras dan mengapur.
Kognitif
Kecerdasan dan Kemampuan Memproses
Kecepatan memproses informasi mengalami penurunan pada masa dewasa
akhir. Ada beberapa bukti bahwa orang-orang dewasa lanjut kurang mampu
mengeluarkan kembali informasi yang telah disimpan dalam ingatannya.
Meskipun kecepatan tersebut perlahan-lahan menurun, namun terdapat
variasi individual di dalam kecakapan ini. Dan ketika penurunan itu
terjadi hal ini tidak secara jelas menunjukkan perngaruhnya terhadap
kehidupan kita dalam beberapa segi substansial.
Misalnya, pada suatu eksperimen yang mempelajari waktu reaksi dan
keterampilan mengetik dari juru ketik pada semua usia (salthouse, 1984).
Juru ketik tua biasanya memiliki reaksi-reaksi yang lambat, namun
mereka sebenarnya mengetik sama cepatnya dengan juru ketika yang masih
muda.
Barangkali para juru ketik tua itu lebih cepat mengetik pada saat mereka
masih muda dan pelan-pelan mulai melambat, tetapi hasilnya pada kondisi
lain menunjukkan bahwa ada hal lain yang telah terlibat. Ketika jumlah
karakter yang dapat dilihat selanjutnya oleh para juru ketik itu
terbatas, kecepatan mengetik pada juru ketik tua menurun secara
substansial; para juru ketik muda kurang begitu terpengaruh dengan
keterbatasan ini. Para juru ketik tua telah belajar untuk melihat jauh
ke depan, sehingga memberi kesempatan pada mereka untuk mengetik sama
cepatnya dengan rekan-rekannya yang lebih muda.
Pekerjaan dan Pensiun
Pekerjaan
Pada tahun 1980-an, persentase laki-laki berusia di atas 65 tahun yang
tetap bekerja purna waktu lebih kecil dibanding pada awal abad 20.
Penurunan yang terjadi dari tahun 1900 sampai tahun 1980-an sebesar 70%
(Douvan, 1983).
Satu perubahan penting dari pola pekerjaan orang-orang dewasa lanjut
adalah meningkatnya perkejaan-pekerjaan paruh waktu. Mis: dari tiga juta
lebih orang dewasa berusia di atas 65 tahun yang pekerja pada tahun
1986, lebih dari separuhnya merupakan pekerja-pekerja paruh waktu.
Pensiun
Pensiun merupakan ide yang relatif baru. Ide ini baru menampakkan
efeknya di banyak negara maju sepanjang abad kesembilan belas dan awal
abad dua puluh ketika harapan hidup meningkat. Di Amerika Serikat,
depresi ekonomi 1930 merupakan pendorong sistem pengamanna sosial, yang
bersama dengan perusahaan yang mensponsori rencana pensiun yang telah
dinegosiasi dengan serikat buruh- memungkinkan banyak pekerja lansia
yang pensiun dengan keamanan kondisi keuangan. Akhirnya, pensiun wajib
pada usia 65 tahun menjadi sesuatu yang hampir unversal.
Pilihan pensiun untuk para pekerja tua merupakan fenomena akhir abad 20
di Amerika Serikat. Sistem jaminan sosial, yang memberikan keuntungan
bagi para pekerja tua ketika mereka pensiun, diwujudkan pada thn 1953.
Rata-rata, para pekerja saat ini akan menikmati 10 sampai 15 persen dari
kehidupannya dalam masa pensiun.
Fase-Fase Pensiun
Seorang ahli gerontologi, Robert Atchley (1976), menggambarkan 7 fase
pensiun yang dilalui oleh orang-orang dewasa, sb:
• Fase Jauh (the remote phase)
• Fase dekat (the near phase)
• Fase bulan madu (the honey moon phase)
• Fase kekecewaan (the disenchantment phase)
• Fase re-orientasi (reorientation phase)
• Fase stabil (the stability phase)
• Fase akhir (the termination phase)
Lingkungan Sosial Orang Dewasa Lanjut
Salah satu teori sosial mengenai penuaan adalah teori pemisahan
(disengagement theory) menyatakan bahwa orang-orang dewasa lanjut secara
perlahan-lahan menarik diri dari masyarakat (Cumming & Henry,
1961).
Penghasilan
Orang usia lanjut yang miskin merupakan pusat perhatian khusus. Pada
tahun 1988, 3.482.000 orang usia 65 tahun dan di atasnya di AS
diklasifikasikan miskin oleh pemerintah federal.
Dapat dipahami bahwa orang lansia mengkhawatirkan pendapatan mereka.
Rata-rata pendapatannya hanya sekitar setengah dari apa yang mereka
dapatkan ketika masih bekerja secara penuh.
Pengaturan Tempat Tinggal
Satu stereotipe dari para lansia adalah bahwa mereka tinggal di dalam
institusi-institusi-rumah sakit, rumah sakit jiwa, panti jompo (nursing
home), dan sebagainya.
Semakin tua seseorang, semakin besar hambatan mereka untuk tinggal
sendirian. Mayoritas orang dewasa lanjut yang tinggal sendirian adalah
janda, tinggal sendirian sebagai orang dewasa lanjut tidaklah berarti
kesepian. Karena para lansia yang dapat menopang dirinya sendiri ketika
hidup sendiri seringkali memiliki kesehatan yang baik dan sedikt
ketidakmampuan, dan mereka selalu memiliki hubungan sosial dengan sanak
keluarga, teman-teman, dan para tetangga.
Perkembangan Psikis
Perkembangan Intelektual
Menurut david Wechsler dalam Desmita (2008) kemunduran kemampuan mental
merupakan bagian dari proses penuaan organisme sacara umum, hampir
sebagian besar penelitian menunjukan bahwa setelah mencapai puncak pada
usia antara 45-55 tahun, kebanyakan kemampuan seseorang secara terus
menerus mengalami penurunan, hal ini juga berlaku pada seorang lansia.
Kemerosotan intelektual lansia ini pada umumnya merupakan sesuatau yang
tidak dapat dihindarkan, disebabkan berbagai faktor, seperti penyakit,
kecemasan atau depresi. Tatapi kemampuan intelektual lansia tersebut
pada dasarnya dapat dipertahankan. Salah satu faktor untuk dapat
mempertahankan kondisi tersebut salah satunya adalah dengan menyediakan
lingkungan yang dapat merangsang ataupun melatih ketrampilan intelektual
mereka, serta dapat mengantisipasi terjadinya kepikunan.
Perkembangan Emosional
Memasuki masa tua, sebagian besar lanjut usia kurang siap menghadapi dan
menyikapi masa tua tersebut, sehingga menyebabkan para lanjut usia
kurang dapat menyesuaikan diri dan memecahkan masalah yang dihadapi
(Widyastuti, 2000). Munculnya rasa tersisih, tidak dibutuhkan lagi,
ketidakikhlasan menerima kenyataan baru seperti penyakit yang tidak
kunjung sembuh, kematian pasangan, merupakan sebagian kecil dari
keseluruhan perasaan yang tidak enak yang harus dihadapi lanjut usia.
Sejalan dengan bertambahnya usia, terjadinya gangguan fungsional,
keadaan depresi dan ketakutan akan mengakibatkan lanjut usia semakin
sulit melakukan penyelesaian suatu masalah. Sehingga lanjut usia yang
masa lalunya sulit dalam menyesuaikan diri cenderung menjadi semakin
sulit penyesuaian diri pada masa-masa selanjutnya.
Yang dimaksud dengan penyesuaian diri pada lanjut usia adalah kemampuan
orang yang berusia lanjut untuk menghadapi tekanan akibat perubahan
perubahan fisik, maupun sosial psikologis yang dialaminya dan kemampuan
untuk mencapai keselarasan antara tuntutan dari dalam diri dengan
tuntutan dari lingkungan, yang disertai dengan kemampuan mengembangkan
mekanisme psikologis yang tepat sehingga dapat memenuhi kebutuhan–
kebutuhan dirinya tanpa menimbulkan masalah baru.
Perkembangan Spiritual
Sebuah penelitian menyatakan bahwa lansia yang lebih dekat dengan agama
menunjukkan tingkatan yang tinggi dalam hal kepuasan hidup, harga diri
dan optimisme. Kebutuhan spiritual (keagamaan) sangat berperan
memberikan ketenangan batiniah, khususnya bagi para Lansia. Rasulullah
bersabda “semua penyakit ada obatnya kecuali penyakit tua”. Sehingga
religiusitas atau penghayatan keagamaan besar pengaruhnya terhadap taraf
kesehatan fisik maupun kesehatan mental, hal ini ditunjukan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Hawari (1997), bahwa :
1.Lanjut usia yang nonreligius angka kematiannya dua kali lebih besar
daripada orang yang religius.
2.Lanjut usia yang religius penyembuhan penyakitnya lebih cepat
dibandingkan yang non religius.
3.Lanjut usia yang religius lebih kebal dan tenang menghadapi operasi
atau masalah hidup lainnya.
4.Lanjut usia yang religius lebih kuat dan tabah menghadapi stres
daripada yang nonreligius, sehingga gangguan mental emosional jauh lebih
kecil.
5.Lanjut usia yang religius tabah dan tenang menghadapi saat-saat
terakhir (kematian) daripada yang nonreligius.
Perkembangan Minat
Minat dalam diri sendiri: orang menjadi semakin dikuasai oleh diri
sendiri apabila semakin tua
Minat terhadap pakaian: minat terhadap pakaian tergantung pada sejauh
mana orang berusia lanjut terlibat dalam kegiatan sosial
Minat terhadap uang: pensiun atau pengangguran mungkin akan menjalani
masa tuanya dengan pendapatan yang kurang bahkan mungkin tanpa
pendapatan samasekali.
Minat untuk rekreasi :beberapa perubahan dalam kegiatan sering
dilakukan karena memang tidak dapat dielakkan
Minat keagamaan, dalam hal ini beberapa penelitian menunjukkan bahwa
orang usia lanjut temyata tidak harus selalu semakin kuat kehidupan
keagamaannya. Disimpulkan bahwa kehidupan beragama ini akan sangat
ditentukan oleh bagaimana individu tersebut menjalankan kehidupan
beragama di masa sebelumnya
Minat untuk mati, beberapa pertanyaan sering kali banyak menghinggapi
pikiran para lanjut usia ini antara lain, kapan saya akan mati ?, apa
yang menyebabkan kematian saya nanti ?, apa yang bisa saya lakukan
terhadap kematian seperti yang saya inginkan ?, atau apakah saya
dibenarkan untuk bunuh diri ?, bagaimana saya dapat mati dengan cara
yang baik?.
Minat untuk makan sering kali sangat berkurang. Hal ini banyak
disebabkan karena masalah gigi, gusi dan sistem pencemaan. Sehingga ini
juga menyebabkan terjadinya ketegangan dengan mereka yang
mengurus/menyediakan makanan tersebut.
Perkembangan Kepribadian
Pertanyaan awal adalah…
Apakah kepribadian itu berubah pada saat kita tua?
Apakah kita memasuki tahapan baru dari perkembangan kepribadian?
Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut kita akan merujuk kepada teori
psikoanalisa; Freud, Roger, dan Erikson
• Freud
Percaya bahwa pada usia lanjut, kita kembali kepada kecenderungan2
narsistik masa kanak-kanak awal (Santrock, 2002: 250).
Artinya tindakan yang dibuat harus diperlihatkan kepada orang lain.
Ketika itu tidak bisa dilakukan maka tidak akan memperoleh kepuasan.
• Carl Jung
Mengatakan bahwa pada usia lanjut, pikiran tenggelam jauh di dalam
ketidaksadaran (Santrock, 2002: 250).
Berdasarkan pendapat Jung ini, mungkin saja hal ini yang membuat orang
yang sudah tua mudah lupa, karena sulit untuk memanggilnya kembali ke
alam sadar.
Hal ini mungkin saja disebabkan oleh sedikitnya kontak dengan realitas,
sehingga pikirannya terpendam dalam ketidaksadaran
• Erikson
Integritas Vesus Keputusasaan
Percaya bahwa masa dewasa akhir dicirikan oleh tahap terakhir dari
delapan tahap siklus kehidupan.
Tahun-tahun akhir kehidupan merupakan suatu masa untuk melihat kembali
apa yang telah dilakukan selama hudupnya. Jika kehidupan sebelumnya
dapat dijalani dengan baik maka akan merasakan kepuasan/integritas pada
masa tuanya, dan sebaliknya.
Bahaya Fisik dan Psikis Lansia
Secara individu, pengaruh proses menua dapat menimbulkan berbagai
masalah fisik baik secara fisik-biologik, mental maupun sosial ekonomis.
Dengan semakin lanjut usia seseorang, mereka akan mengalami kemunduran
terutama di bidang kemampuan fisik, yang dapat mengakibatkan penurunan
pada peranan-peranan sosialnya. Hal ini mengkibatkan pula timbulnya
gangguan di dalam hal mencukupi kebutuhan hidupnya sehingga dapat
meningkatkan ketergantunga yang memerlukan bantuan orang lain.
Lanjut usia tidak saja di tandai dengan kenunduran fisik, tetapi dapat
pula berpengaruh terhadap kondisi mental. Semakin lanjut seseorang,
kesibukan sosialnya akan semakin berkurang hal mana akan dapat
mengakibatkan berkurangnya integrasi dengan lingkungannya. Hal ini dapat
memberikan dampak pada kebahagiaan seseorang (Stanley, 2007).
Beberapa Tanda Bahaya Yang Sebaiknya Diantisipasi
1. Bahaya fisik yang umum terjadi pads usia lanjut
• Penyakit degeneratif/penyakit kronis.
• Adanya hambatan fisik (penglihatan, pendengaran, otot, tulang dll.).
• Gangguan pada gigi/gusinya.
• Berkurangnya pemasukan gizi, karena minat makan yang berkurang, dalam
hal ini dirinya ada rasa takut dan juga murung, ingin makan bersama
orang lain.
• Menurunnya kemampuan dan gairah seksual.
• Mereka tergolong rentan/rawan terhadap kecelakaan.
2. Bahaya Psikis Pada Lansia
• Ketidaksiapan untuk mengadakan perubahan pola kehidupannya, contoh:
misalnya mereka harus memutuskan mendiami rumah yang tidak terlalu besar
lagi, karena anakanak sudah menikah semua dan mempunyai keluarga
sendiri.
• Dapat pula muncul pemikiran pada orang usia lanjut bahwa proses mental
mereka sudah mulai dan sedang menurun. Misalnya mereka mengeluh sangat
pelupa, kesulitan dalam menerima hal baru. Dan mereka juga merasa tidak
tahan dengan tekanan, perasaan seperti ini membentuk mental mereka
seolah tertidur, dengan keyakinan bahwa dirinya sudah terlalu tua untuk
mengerjakan hal tertentu, mereka menarik diri dari semua bentuk
kegiatan.
• Masalah psikologis lain yang dapat menjadi gangguan adalah perasaan
bersalah karena menganggur. Sering kali hal ini akan tergantung dari
sistem nilai yang ada dalam dirinya, seberapa jauh orang usia lanjut ini
sangat mementingkan materi, dan seberapa jauh dia menilai pentingnya
bekerja. Mereka merasa sangat membutuhkan pekerjaan agar sangat dihargai
oleh orang lain, ingin memperoleh perhatian. Berkaitan dengan hal ini,
mereka juga menyadari bahwa pendapatan mereka menurun.
• Gangguan psikologis yang dipandang paling berbahaya adalah sikap
mereka yang ingin tidak terlibat secara sosial. Sikap ini akan membuat
mereka mudah curiga terhadap orang lain, atau menuntut perhatian
berlebihan, atau mengasingkan diri dengan munculnya rasa tidak berguna
dan rasa murung, rendah diri, bahkan juga mungkin akan menjadi sangat
apatis.
Daftar Pustaka
Papalia,Diane E.,dkk. 2008. Human Development. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
F.J. Monks & A.M.P. Knoers, Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam
Berbagai Bagiannya. Cet.XV; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2006.
Desmita, Psikologi Perkembangan. Cet.II; Bandung, Remaja Rosdakarya,
2006.
B. Hurlock, Elizabeth, Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga, 1980.
Santrock,John W. 2007. Perkembangan Anak Edisi Kesembilan Jilid 2.
Jakarta: Erlangga.
Mukhlis & Hirmaningsih. 2010. Teori-Teori Psikologi Perkembangan.
Pekanbaru: Psikologi Press.
Psikologi Perkembangan Lansia, diakses pada tanggal 17 april 2011 pukul
22.06 wib dari
http://shulizwanto08.wordpress.com/2010/01/12/psikologi-perkembangan-lansia/
Tahap perkembangan pada usia dewasa, diakses pada tanggal 17 april 2011
pukul 22.14 wib dari
http://smpn2lem.blogspot.com/2011/02/tahap-perkembangan-pada-usia-dewasa.html
http://dinkes-sulsel.go.id/new/images/pdf/pedomam%20keswa_lansia.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17277/4/Chapter%20II.pdf
Perkembangan pisik dan kognitif dewasa akhir, diakses pada tanggal 17
april 2011 pukul 22.46 wib dari
http://blog.uinmalang.ac.id/azzqie/2011/02/01/perkembangan-fisik-dan-kognitif-dewasa-akhir/
http://dinkes-sulsel.go.id/new/images/pdf/pedomam%20keswa_lansia.pdf
9 Oktober 2012
PRINSIP-PRINSIP PEMBERIAN PENGHARGAAN DAN HUKUMAN
PRINSIP-PRINSIP
PEMBERIAN PENGHARGAAN DAN HUKUMAN
1.
Prinsip-Prinsip Pemberian Penghargaan
Pertama,
penilaian didasarkan pada ’perilaku’ bukan ’pelaku’. Untuk membedakan antara
’pelaku’ dan ’perilaku’ memang masih sulit, terutama bagi yang belum terbiasa.
Apalagi kebiasaan dan presepsi yang tertanam kuat dalam pola pikir kita yang
sering menyamakan kedua hal tersebut. Istilah atau panggilan semacam ’anak
shaleh’, anak pintar’ yang menunjukkan sifat ’pelaku’ tidak dijadikan alasan
peberian penghargaan karena akan menimbulkan persepsi bahwa predikat ’anak
shaleh’ bisa ada dan bisa hilang. Tetapi harus menyebutkan secara langsung
perilaku anak yang membuatnya memperoleh hadiah. Jadi komentar seperti ”Kamu
dikasih hadiah karena sebulan ini kamu benar-benar jadi anak shaleh”, harus
dirubah menjadi ”Kamu diberi hadiah bulan ini karena kerajinan kamu dalam
melaksanakan shalat wajib”.
Kedua,
pemberian penghargaan atau hadiah harus ada batasnya. Pemberian hadiah tidak
bisa menjadi metode yang dipergunakan selamanya. Proses ini cukup difungsikan
hingga tahapan penumbuhan kebiasaan saja. Manakala proses pembiasaan dirasa
telah cukup, maka pemberian hadiah harus diakhiri. Maka hal terpenting yang
harus dilakukan adalah memberikan pengertian sedini mungkin kepada anak tentang
pembatasan ini.
Ketiga,
penghargaan berupa perhatian. Alternatif bentuk hadiah yang terbaik bukanlah
berupa materi, tetapi berupa perhatian baik verbal maupun fisik. Perhatian
verbal bisa berupa komentar-komentar pujian, seperti, ’Subhanallah’,
Alhamdulillah’, indah sekali gambarmu’. Sementara hadiah perhatian fisik bisa
berupa pelukan, atau acungan jempol.
Keempat,
dimusyawarahkan kesepakatannya. Persepsi umum para orang dewasa, kerap
menyepelekan dan menganggap konyol celotehan anak. Bahwa anak suka bicara
ceplas-ceplos dan mementingkan diri sendiri memanglah benar, tetapi itu bisa
diatasi dengan beberapa kiat tertentu. Setiap anak yang ditanya tentang hadiah
yang dinginkan, sudah barang tentu akan menyebutkan barang-barang yang ia
sukai. Maka disinilah ditunutut kepandaian dan kesabaran seorang guru atau
orang tua untuk mendialogkan dan memberi pengertian secara detail sesuai
tahapan kemamuan berpikir anak, bahwa tidak semua keinginan kita dapat
terpenuhi.
Kelima,
distandarkan pada proses, bukan hasil. Banyak orang lupa, bahwa proses jauh
lebih penting daripada hasil. Proses pembelajaran, yaitu usaha yang dilakukan
anak, adalah merupakan lahan perjuangan yang sebenarnya. Sedangkan hasil yang
akan diperoleh nanti tidak bisa dijadikan patokan keberhasilannya. Orang yang
cenderung lebih mengutramakan hasil tidak terlalu mempermasalahkan apakah
proses pencapaian hasil tersebut dilakukan secara benar atau salah, halal atau
haram.
Sebuah contoh bisa dilahat pada sekolah yang membuat buku penilaian terhadap aktifitas shalat para siswa SD selama berada di rumah. Pihak sekolah tidak memiliki cara untuk mengetahui kebenaran pengisian buku tersebut. Pihak sekolah tidak merasa penting menilai alur proses yang terjadi dalam menumbuhkan kebiasaan siswanya shalat, tetapi hanya menstandarkan pemberian hadiah pada hasil saja, yaitu bukti yang tertera dalam buku pemantauan shalat tersebut.
Sebuah contoh bisa dilahat pada sekolah yang membuat buku penilaian terhadap aktifitas shalat para siswa SD selama berada di rumah. Pihak sekolah tidak memiliki cara untuk mengetahui kebenaran pengisian buku tersebut. Pihak sekolah tidak merasa penting menilai alur proses yang terjadi dalam menumbuhkan kebiasaan siswanya shalat, tetapi hanya menstandarkan pemberian hadiah pada hasil saja, yaitu bukti yang tertera dalam buku pemantauan shalat tersebut.
2. Prinsip-Prinsip Pemberian Hukuman
Pertama,
kepercayaan terlebih dahulu kemudian hukuman. Metode terbaik yang tetap harus
diprioritaskan adalah memberikan kepercayaan kepada anak. Memberikan
kepercayaan kepada anak berarti tidak menyudutkan mereka dengan
kesalahan-kesalahannya, tetapi sebaliknya kita memberikan pengakuan bahwa kita
yakin mereka tidak berniat melakukan kesalahan tersebut, mereka hanya khilaf
atau mendapat pengaruh dari luar.
Memberikan
komentar-komentar yang mengandung kepercayaan, harus dilakukan terlebih dahulu
ketika anak berbuat kesalahan. Hukuman, baik berupa caci maki, kemarahan maupun
hukuman fisik lain, adalah urutan prioritas akhir setelah dilakukan berbagai
cara halus dan lembut lainnya untuk memberikan pengertian kepada anak.
Kedua,
hukuman distandarkan pada perilaku. Sebagaimana halnya pemberian hadiah yang
harus distandarkan pada perilaku, maka demikian halnya hukuman, bahwa hukuman
harus berawal dari penilaian terhadap perilaku anak, bukan ’pelaku’ nya. Setiap
anak bahkan orang dewasa sekalipun tidak akan pernah mau dicap jelek, meski
mereka melakukan suatu kesalahan.
Ketiga,
menghukum tanpa emosi. Kesalahan yang paling sering dilakukan orangtua dan
pendidik adalah ketika mereka menghukum anak disertai dengan emosi kemarahan.
Bahkan emosi kemarahan itulah yang menjadi penyebab timbulnya keinginan untuk
menghukum. Dalam kondisi ini, tujuan sebenarnya dari pemberian hukuman yang
menginginkan adanya penyadaran agar anak tak lagi melakukan kesalahan, menjadi
tak efektif.
Kesalahan
lain yang sering dilakukan seorang pendidik ketika menghukum anak didiknya
dengan emosi, adalah selalu disertai nasehat yang panjang lebar dan terus
mengungkit-ungkit kesalahan anak. Dalam kondisi seperti ini sangat tidak
efektif jika digunakan untuk memberikan nasehat panjang lebar, sebab anak dalam
kondisi emosi sedang labil, sehingga yang ia rasakan bukannya nasehat tetapi
kecerewetan dan omelan yang menyakitkan.
Keempat,
hukuman sudah disepakati. Sama seperti metode pemberian hadiah yang harus
dimusyawarahkan dan didiologkan terlebih dahulu, maka begitu pula yang harus
dilakukan sebelum memberikan hukuman. Adalah suatu pantangan memberikan hukuman
kepada anak, dalam keadaan anak tidak menyangka ia akan menerima hukuman, dan
ia dalam kondosi yang tidak siap. Mendialogkan peraturan dan hukuman dengan
anak, memiliki arti yang sangat besar bagi si anak. Selain kesiapan menerima
hukuman ketika melanggar juga suatu pembelajaran untuk menghargai orang lain
karena ia dihargai oleh orang tuanya.
Kelima,
tahapan pemberian hukuman. Dalam memberikan hukuman tentu harus melalui
beberapa tahapan, mulai dari yang teringan hingga akhirnya jadi yang terberat.
Untuk itu kita perlu merujuk kepada al-Qur’an, seperti apa konsep tahapan
hukuman yang dibicarakan disana. Salah satu jenis kesalahan yang ditereangkan
secara jelas tahapan hukumannya adala mengenai istri nusyuz.
Difirmankan Allah dalam surat An-Nisa ayat 34:
Difirmankan Allah dalam surat An-Nisa ayat 34:
…wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka
di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu,
Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah
Maha Tinggi lagi Maha besar.
Adapun Ibnu Jama’ah memandang bahwa hukuman kependidikan dapat diberikan dalam empat tahapan. Jika siswa melakukan perilaku yang tidak dapat diterima, guru dapat mengikuti empat tahapan berikut:
Adapun Ibnu Jama’ah memandang bahwa hukuman kependidikan dapat diberikan dalam empat tahapan. Jika siswa melakukan perilaku yang tidak dapat diterima, guru dapat mengikuti empat tahapan berikut:
a. Melarang
perbuatan itu didepan siswa yang melakukan kesalahan tanpa menyebutkan namanya
b. Jika
anak tidak menghentikan, guru dapat melarangnya secara sembunyi-sembunyi, misal
dengan isyarat.
c. Jika
anak tidak juga menghentikannya, guru dapat melarangnya secara tegas dan keras,
agar yang dia dan teman-temannya menjauhkan diri dari perbuatan semacam itu.
d. Jika
anak tidak kunjung menhentikannya, guru dapat mengusirnya dan tidak
memperdulikannya.
3.
Keseimbangan Penghargaan dan Hukuman
Segala
sesuatu perlu ukuran, perlu keseimbangan. Yaitu proporsi ukuran yang sesuai
dengan kebutuhan masing-masing. Belum tentu ukuran tersebut harus berbagi sama.
Keseimbangan imbalan dan hukuman pun tidak berarti harus diberikan dalam porsi
sama, satu-satu.
Yang
akan dipakai sebagai standar keseimbangan adalah sama seperti standar yang
dipergunakan Allah SWT dalam memberikan pahala dan dosa bagi hamba-hambaNya.
Seperti kita ketahui, Allah menjanjikan pahala bagi manusia, untuk sekedar
sebuah niat berbuat baik. Manakala niat itu diwujudkan dalam bentuk sebuah
amal, Allah akan membalasnya dengan pahala yang bukan hanya satu, melainkan
berlipat ganda. Sebaliknya, Allah mempersulit pemberian dosa bagi hambaNya.
Nita untuk bermaksiat belumlah dicatat sebagai dosa, kecuali niat itu
terelaksana, itupun bisa segera Dia hapuskan ketika kita segera beristigfar.
Keseimbangan
inilah yang harus kita teladani dalam memberikan imbalan dan hukuman kepada
anak. Kita harus mengutamakan dan mempermudah memberikan penghargaan dan hadiah
kepada anak dan meminimalkan pemberian hukuman.
Metode
pemberian hukuman adalah cara tekhir yang dilakukan, saat sarana atau metode
lain mengalami kegagalan dan tidak mencapai tujuan. Saat itu boleh melakukan
penjatuhan hukuman. Dan ketika menjatukan hukuman harus mencari waktu yang
tepat serta sesuai dengan kadar kesalahan yang dilakukan.
Dorongan atau tenaga tersebut
merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk berbuat. Jadi motif tersebut merupakan
suatu driving force yang menggerakkan manusia untuk bertingkah-laku, dan di
dalam perbuatannya itu mempunyai tujuan tertentu. Setiap tindakan yang
dilakukan oleh manusia selalu di mulai dengan motivasi (niat). Menurut Wexley
& Yukl (dalam As’ad, 1987) motivasi adalah pemberian atau penimbulan motif,
dapat pula diartikan hal atau keadaan menjadi motif. Sedangkan menurut Mitchell
(dalam Winardi, 2002) motivasi mewakili proses- proses psikologikal, yang
menyebabkan timbulnya, diarahkanya, dan terjadinya persistensi kegiatan-
kegiatan sukarela (volunter) yang diarahkan ke tujuan tertentu.
Sedangkan menurut Gray (dalam
Winardi, 2002) motivasi merupakan sejumlah proses, yang bersifat
internal, atau eksternal bagi seorang individu, yang menyebabkan timbulnya
sikap antusiasme dan persistensi, dalam hal melaksanakan kegiatan- kegiatan
tertentu.
Morgan (dalam Soemanto, 1987)
mengemukakan bahwa motivasi bertalian dengan tiga hal yang sekaligus
merupakan aspek- aspek dari motivasi. Ketiga hal tersebut adalah: keadaan yang
mendorong tingkah laku (motivating states), tingkah laku yang di dorong
oleh keadaan tersebut (motivated behavior), dan tujuan dari pada tingkah
laku tersebut (goals or ends of such behavior). McDonald (dalam
Soemanto, 1987) mendefinisikan motivasi sebagai perubahan tenaga di dalam diri
seseorang yang ditandai oleh dorongan efektif dan reaksi- reaksi mencapai
tujuan. Motivasi merupakan masalah kompleks dalam organisasi, karena kebutuhan
dan keinginan setiap anggota organisasi berbeda satu dengan yang lainnya. Hal
ini berbeda karena setiap anggota suatu organisasi adalah unik secara biologis
maupun psikologis, dan berkembang atas dasar proses belajar yang berbeda pula
(Suprihanto dkk, 2003).
Soemanto (1987) secara umum mendefinisikan
motivasi sebagai suatu perubahan tenaga yang ditandai oleh dorongan efektif
dan reaksi-reaksi pencapaian tujuan. Karena kelakuan manusia itu selalu
bertujuan, kita dapat menyimpulkan bahwa perubahan tenaga yang memberi kekuatan
bagi tingkahlaku mencapai tujuan,telah terjadi di dalam diri seseorang.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa motivasi
adalah energi aktif yang menyebabkan terjadinya suatu perubahan pada
diri sesorang yang nampak pada gejala kejiwaan, perasaan, dan juga emosi,
sehingga mendorong individu untuk bertindak atau melakukan sesuatu dikarenakan
adanya tujuan, kebutuhan, atau keinginan yang harus terpuaskan.
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Motivasi
Motivasi seseorang sangat
dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu :
a. Faktor Internal; faktor yang berasal dari dalam diri individu, terdiri atas:
a. Faktor Internal; faktor yang berasal dari dalam diri individu, terdiri atas:
- Persepsi individu mengenai diri sendiri;
seseorang termotivasi atau tidak untuk melakukan sesuatu banyak tergantung
pada proses kognitif berupa persepsi. Persepsi seseorang tentang dirinya
sendiri akan mendorong dan mengarahkan perilaku seseorang untuk bertindak;
- Harga diri dan prestasi; faktor ini mendorong atau
mengarahkan inidvidu (memotivasi) untuk berusaha agar menjadi pribadi yang
mandiri, kuat, dan memperoleh kebebasan serta mendapatkan status tertentu
dalam lingkungan masyarakat; serta dapat mendorong individu untuk
berprestasi;
- Harapan; adanya harapan-harapan akan masa depan.
Harapan ini merupakan informasi objektif dari lingkungan yang mempengaruhi
sikap dan perasaan subjektif seseorang. Harapan merupakan tujuan dari
perilaku.
- Kebutuhan; manusia dimotivasi oleh kebutuhan untuk
menjadikan dirinya sendiri yang berfungsi secara penuh, sehingga mampu
meraih potensinya secara total. Kebutuhan akan mendorong dan mengarahkan
seseorang untuk mencari atau menghindari, mengarahkan dan memberi respon
terhadap tekanan yang dialaminya.
- Kepuasan kerja; lebih merupakan suatu dorongan afektif
yang muncul dalam diri individu untuk mencapai goal atau tujuan yang
diinginkan dari suatu perilaku.
b. Faktor Eksternal; faktor yang berasal dari luar diri individu, terdiri atas:
- Jenis dan sifat pekerjaan; dorongan untuk bekerja pada
jenis dan sifat pekerjaan tertentu sesuai dengan objek pekerjaan yang
tersedia akan mengarahkan individu untuk menentukan sikap atau pilihan
pekerjaan yang akan ditekuni. Kondisi ini juga dapat dipengartuhi oleh
sejauh mana nilai imbalan yang dimiliki oleh objek pekerjaan dimaksud;
- Kelompok kerja dimana individu bergabung; kelompok
kerja atau organisasi tempat dimana individu bergabung dapat mendorong
atau mengarahkan perilaku individu dalam mencapai suatu tujuan perilaku
tertentu; peranan kelompok atau organisasi ini dapat membantu individu
mendapatkan kebutuhan akan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, kebajikan
serta dapat memberikan arti bagi individu sehubungan dengan kiprahnya
dalam kehidupan sosial.
- Situasi lingkungan pada umumnya; setiap individu
terdorong untuk berhubungan dengan rasa mampunya dalam melakukan interaksi
secara efektif dengan lingkungannya;
- Sistem imbalan yang diterima; imbalan merupakan
karakteristik atau kualitas dari objek pemuas yang dibutuhkan oleh
seseorang yang dapat mempengaruhi motivasi atau dapat mengubah arah
tingkah laku dari satu objek ke objek lain yang mempunyai nilai imbalan
yang lebih besar. Sistem pemberian imbalan dapat mendorong individu untuk
berperilaku dalam mencapai tujuan; perilaku dipandang sebagai tujuan,
sehingga ketika tujuan tercapai maka akan timbul imbalan.
Rujukan buku :
- As’ad, Moh, 1998. Psikologi Industri. Yogyakarta: Liberty.
- Winardi, 1992. Manajemen Prilaku Organisasi. Bandung:
PT Citra Aditya Bakti.
- Soemanto, Wasty, 1987. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Bina Aksa
Hasil belajar menurut Anni (2004:4)
merupakan perubahan perilaku yang diperoleh pembelajar setelah mengalami
aktivitas belajar.
Hasil belajar menurut Sudjana
(1990:22) adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman
belajaranya.
Dari dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah suatu kemampuan atau keterampilan yang dimiliki oleh siswa setelah siswa tersebut mengalami aktivitas belajar.
Gagne mengungkapkan ada lima kategori hasil belajar, yakni : informasi verbal, kecakapan intelektul, strategi kognitif, sikap dan keterampilan. Sementara Bloom mengungkapkan tiga tujuan pengajaran yang merupakan kemampuan seseorang yang harus dicapai dan merupakan hasil belajar yaitu : kognitif, afektif dan psikomotorik (Sudjana, 1990:22).
Hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu :
Dari dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah suatu kemampuan atau keterampilan yang dimiliki oleh siswa setelah siswa tersebut mengalami aktivitas belajar.
Gagne mengungkapkan ada lima kategori hasil belajar, yakni : informasi verbal, kecakapan intelektul, strategi kognitif, sikap dan keterampilan. Sementara Bloom mengungkapkan tiga tujuan pengajaran yang merupakan kemampuan seseorang yang harus dicapai dan merupakan hasil belajar yaitu : kognitif, afektif dan psikomotorik (Sudjana, 1990:22).
Hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu :
- Faktor dari dalam diri siswa,
meliputi kemampuan yang dimilikinya, motivasi belajar, minat dan perhatian,
sikap dan kebiasaan belajar, ketekunan, sosial ekonomi, faktor fisik dan
psikis.
- Faktor yang datang dari luar
diri siswa atau faktor lingkungan, terutama kualitas pengajaran.
Hasil belajar yang dicapai siswa menurut Sudjana (1990:56), melalui proses belajar mengajar yang optimal ditunjukkan dengan ciri-ciri sebagai berikut.
- Kepuasan dan kebanggaan yang
dapat menumbuhkan motivasi belajar intrinsik pada diri siswa. Siswa tidak
mengeluh dengan prestasi yang rendah dan ia akan berjuang lebih keras
untuk memperbaikinya atau setidaknya mempertahankan apa yang telah
dicapai.
- Menambah keyakinan dan
kemampuan dirinya, artinya ia tahu kemampuan dirinya dan percaya bahwa ia
mempunyai potensi yang tidak kalah dari orang lain apabila ia berusaha
sebagaimana mestinya.
- Hasil belajar yang dicapai
bermakna bagi dirinya, seperti akan tahan lama diingat, membentuk
perilaku, bermanfaat untuk mempelajari aspek lain, kemauan dan kemampuan
untuk belajar sendiri dan mengembangkan kreativitasnya.
- Hasil belajar yang diperoleh
siswa secara menyeluruh (komprehensif), yakni mencakup ranah kognitif,
pengetahuan atau wawasan, ranah afektif (sikap) dan ranah psikomotorik,
keterampilan atau perilaku.
- Kemampuan siswa untuk
mengontrol atau menilai dan mengendalikan diri terutama dalam menilai
hasil yang dicapainya maupun menilai dan mengendalikan proses dan usaha
belajarnya.
Keterangan
Artikel :
Note: Bagi sobat atau pengunjung blog KUMPULAN ILMU, apabila menemukan posting, artikel, makalah yang ber-hak cipta, silakan konfirmasi lewat kolom komentar. secepatnya admin akan menggantinya dan kalau mas
Note: Bagi sobat atau pengunjung blog KUMPULAN ILMU, apabila menemukan posting, artikel, makalah yang ber-hak cipta, silakan konfirmasi lewat kolom komentar. secepatnya admin akan menggantinya dan kalau mas
tehnik pengumpulan data
Di bawah ini adalah beberapa teknik pengumpulan data, yaitu:
A. ANGKET
Agket (self-administered questionnaire) adalah teknik pengumpulan data dengan menyerahkan atau mengirimkan daftar pertanyaan untuk diisi sendiri oleh responden. Responden adalah orang yang menjawab atau memberikan tanggapan atas pertanyaan yang diajukan.
Dua macam pertanyaan dalam instrumen penelitian adalah pertanyaan
terbuka dan tertutup. Di bawah ini akan disebutkan perbedaan antara
keduanya.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menggolongkan jawaban atas
pertanyaan terbuka:
B. WAWANCARA
Wawancara yang juga dikenal dengan interview adalah pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan secara langsung oleh pewawancara kepada responden dan jawaban responden dicatat atau direkam. Selain itu wawancara juga dapat dilakukan melalui telepon. Teknik wawancara dapat digunakan pada responden yang buta huruf atau tidak terbiasa membaca atau menulis, termasuk anak-anak.
Dalam kegiatan wawancara calon responden berhak untuk tidak bersedia
menjadi responden. Untuk menghindari hal tersebut, ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan, yaitu:
C. OBSERVASI
Observasi diartikan sebagai pengamatan dengan indera penglihatan yang berarti tidak mengajukan pertanyaan.
Berdasarkan keterlibatan pengamat dalam kegiatan orang yang diamati,
observasi dapat dibedakan menjadi:
1. Observasi partisipan (participant observation)
Pengamat ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan oleh subjek yang diteliti namun tetap waspada untuk mengamati kemunculan tingkah laku tertentu.
2. Observasi takpartisipan (nonparticipant observation)
Pengamat berada di luar subjek yang diamati
Berdasarkan cara pengamatan yang dilakukan, observasi dibedakan menjadi:
1. Observasi tak berstruktur
Pengamat tidak membawa catatan tentang tingkah laku apa saja yang secara khusus akan diamati. Ia akan mengamati arus peristiwa dan mencatatnya atau meringkasnya untuk kemudian dianalisis.
2. Observasi berstruktur
Pengamat memusatkan perhatian pada tingkah laku tertentu sehingga dapat dibuat pedoman tentang tingkah laku apa saja yang harus diamati. Tingkah laku lainnya diabaikan.
D. STUDI DOKUMENTASI
Studi dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang tidak ditujukan langsung kepada subjek penelitian. Dokumen yang diteliti dapat berbagai macam, tidak hanya dokumen resmi, bisa berupa buku harian, surat pribadi, laporan, notulen rapat, catatan kasus (case records) dalam pekerjaan sosial, dan dokumen lainnya.
Dokumen dapat dibedakan menjadi:
1. Dokumen primer
Dokumen ditulis oleh orang yang langsung mengalami suatu peristiwa. Sebagai contoh adalah autobiografi
2. Dokumen sekunder
Peristiwa dilaporkan pada orang lain yang selanjutnya ditulis oleh orang ini. Contohnya adalah biografi.
Sebagaimana metode historic, dalam studi dokumentasi perlu dilakukan kritik terhadap sumber data, baik kritik internal maupun eksternal.
Referensi:
Soehartono, Irawan. Dr.. 1995. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Remaja Rosdakar
Agket (self-administered questionnaire) adalah teknik pengumpulan data dengan menyerahkan atau mengirimkan daftar pertanyaan untuk diisi sendiri oleh responden. Responden adalah orang yang menjawab atau memberikan tanggapan atas pertanyaan yang diajukan.
Keuntungan Teknik Angket
|
Kerugian Teknik Angket
|
Dapat menjangkau sampel dalam jumlah besar karena
dapat dikirim melalui pos
|
Karena dikirim melalui pos, persentase pengembalian
angket relatif rendah
|
Biaya membuat angket relatif murah
|
Pertanyaan dalam angket dapat salah ditafsirkan dan
tidak ada kesempatan mendapatkan penjelasan
|
Tidak terlalu mengganggu responden karena pengisiannya
ditentukan oleh responden sendiri
|
Tidak dapat digunakan bagi responden yang kurang bisa
membaca dan menulis, atau memiliki tingkat pendidikan yang kurang
memadai
|
Pertanyaan Terbuka
|
Pertanyaan Tertutup
|
Jawaban tidak disediakan sehingga responden bebas
menulis jawaban sendiri sesuai pandangannya
|
Jawaban sudah disediakan, responden hanya memilih saja
|
Jawaban dari responden sangat bervariasi sehingga
sulit mengolahnya karena harus menggolongkan jawaban yang ada
|
Mudah mengolahnya karena jawaban tidak bervariasi
|
- Penggolongan hanya didasarkan pada satu prinsip (dimensi) sehingga seseorang tidak masuk ke lebih dari satu golongan
- Golongan-golongan yang dibuat harus saling meniadakan (mutually exclusive)
- Golongan yang dibuat harus menyeluruh (exhaustive), artinya tidak satupun yang tidak termasuk ke salah satu golongan.
- Pertanyaan harus jelas dan tidak meragukan
- Hindari pertanyaan atau pernyataan berganda
- Responden harus mampu menjawab
- Pertanyaan-pertanyaan harus relevan, artinya berkenaan dengan tujuan penelitian
- Pertanyaan atau pernyataan pendek adalah yang terbaik
- Hindari pertanyaan, pernyataan, atau istilah yang bias, termasuk tidak mengajukan pertanyaan yang sugestif
- Mulailah pertanyaan angket dengan pertanyaan yang menarik, tidak sensitif atau yang sangat pribadi. Untuk pertanyaan identitas diajukan terakhir
- Petunjuk pengisian harus jelas
B. WAWANCARA
Wawancara yang juga dikenal dengan interview adalah pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan secara langsung oleh pewawancara kepada responden dan jawaban responden dicatat atau direkam. Selain itu wawancara juga dapat dilakukan melalui telepon. Teknik wawancara dapat digunakan pada responden yang buta huruf atau tidak terbiasa membaca atau menulis, termasuk anak-anak.
Keuntungan Wawancara
|
Kerugian Wawancara
|
Dapat digunakan pada responden yang tidak bisa membaca
dan menulis
|
Membutuhkan biaya yang besar untuk perjalanan
pengumpul data
|
Pewawancara dapat segera menjelaskan jika ada
pertanyaan yang kurang dipahami
|
Hanya dapat menjangkau jumlah responden yang lebih
kecil
|
Wawancara dapat mengecek kebenaran jawaban responden
dengan mengajukan pertanyaan pembanding atau dengan melihat wajah dan
gerak-gerik responden
|
Kehadiran pewawancara mungkin mengganggu responden
|
- Penampilan fisik, termasuk cara berpakaian pewawancara. Penampilan yang baik akan menciptakan kesan yang baik di mata responden
- Sikap dan tingkah laku pewawancara. Sikap yang baik dan sopan akan menyenangkan responden
- Identitas. Pewawancara harus mengenalkan dirinya, bila perlu beserta kartu pengenal dan surat tugas
- Persiapan. Pewawancara harus menguasai apa saja yang akan ditanyakan pada responden
- Pewawancara harus bersikap netral, tidak mengarahkan jawaban responden. Bila pewawancara merasa kesulitan dalam menggolongkan jawaban responden, tanyakan kepada reponden kategori mana yang menurut responden paling sesuai untuk jawaban itu.
C. OBSERVASI
Observasi diartikan sebagai pengamatan dengan indera penglihatan yang berarti tidak mengajukan pertanyaan.
Keuntungan Observasi
|
Kerugian Observasi
|
Data yang diperoleh adalah data yang segar, artinya
diperoleh dari subjek saat terjadinya tingkah laku
|
Pengamat harus mengamati sampai tingkah laku yang
diharapkan terjadi. Jika dana yang tersedia cukup besar pengamat dapat
menggunakan video perekam
|
Keabsahan alat ukur dapat diketahui langsung
|
Beberapa tingkah laku, seperti tingkah laku kriminal
yang bersifat pribadi sukar diamati bahkan dapat membahayakan pengamat
|
1. Observasi partisipan (participant observation)
Pengamat ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan oleh subjek yang diteliti namun tetap waspada untuk mengamati kemunculan tingkah laku tertentu.
2. Observasi takpartisipan (nonparticipant observation)
Pengamat berada di luar subjek yang diamati
Berdasarkan cara pengamatan yang dilakukan, observasi dibedakan menjadi:
1. Observasi tak berstruktur
Pengamat tidak membawa catatan tentang tingkah laku apa saja yang secara khusus akan diamati. Ia akan mengamati arus peristiwa dan mencatatnya atau meringkasnya untuk kemudian dianalisis.
2. Observasi berstruktur
Pengamat memusatkan perhatian pada tingkah laku tertentu sehingga dapat dibuat pedoman tentang tingkah laku apa saja yang harus diamati. Tingkah laku lainnya diabaikan.
D. STUDI DOKUMENTASI
Studi dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang tidak ditujukan langsung kepada subjek penelitian. Dokumen yang diteliti dapat berbagai macam, tidak hanya dokumen resmi, bisa berupa buku harian, surat pribadi, laporan, notulen rapat, catatan kasus (case records) dalam pekerjaan sosial, dan dokumen lainnya.
Dokumen dapat dibedakan menjadi:
1. Dokumen primer
Dokumen ditulis oleh orang yang langsung mengalami suatu peristiwa. Sebagai contoh adalah autobiografi
2. Dokumen sekunder
Peristiwa dilaporkan pada orang lain yang selanjutnya ditulis oleh orang ini. Contohnya adalah biografi.
Sebagaimana metode historic, dalam studi dokumentasi perlu dilakukan kritik terhadap sumber data, baik kritik internal maupun eksternal.
Keuntungan Studi Dokumentasi
|
Kerugian Studi Dokumentasi
|
Merupakan cara tepat untuk subjek penelitian yang
sukar atau sulit dijangkau
|
Karena dokumen yang dibuat bukan untuk keperluan
penelitian, data yang tersedia mungkin bias
|
Takreaktif. Data yang diperlukan tidak terpengaruh
oleh kehadiran peneliti atau pengumpul data
|
Catatan tentang orang ternama mungkin disimpan dengan
baik, tetapi catatan tentang orang biasa tidak selalu, bahkan tidak ada
(tersedia secara selektif)
|
Cara yang terbaik untuk kasus yang bersifat
longitudinal, khususnya yang menjangkau ke masa lalu
|
Karena dokumen ditulis bukan untuk penelitian, mungkin
data yang tersedia tidak lengkap / tidak tercatat pada dokumen
|
Teknik ini memungkinkan untuk mengambil sampel yang
lebih besar karena biaya yang diperlukan relatif kecil
|
Format dokumen dapat bermacam-macam sehingga bisa
mempersulit pengumpulan data dan sukar memberikan kode pada data
|
Soehartono, Irawan. Dr.. 1995. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Remaja Rosdakar
contoh abstrak
Nama : Lia Gustina Ais
NPM : 10110117/BK VC
Tugas
Mata Kuliah Metode Penelitian
Materi : Menbuat Judul Skripsi
Judul
“Efektivitas
Pemberian Punisment and Reward Terhadap Motivasi dan Hasil Belajar Anak Usia
Dini Pada Raudhatul Atfal Al-Ulya 2, Bandar Lampung.” Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui sejauhmana keefektivan pemberian punishment and reward
terhadap motivasi dan hasil belajar anak usia dini. Metode penelitian yang digunakan
adalah metode kuantitatif. Variabel dalam penelitian ini adalah Punisment
and Reward, motivasi dan Hasil Belajar. Pengumpulan data dilakukan dengan Observasi partisipan. Teknik analisis data menggunakan
uji validitas dan reliabilitas, uji asumsi dan uji linieritas. Jumlah subyek
penelitian ini adalah anak didik yang tergabung dalam tingkat B, pada sekolah
tersebut di atas. Subyek penelitian diberikan dua macam skala yaitu skala pemberian
punishment dan skala pemberian reward.
Kerangka
berfikir
Salah
satu teknik atau metode pendidikan adalah pendidikan dengan pemberian
penghargaan dan hukuman. Penghargaan atau hadiah dalam pendidikan anak akan
memberikan motivasi untuk terus meningkatkan atau paling tidak mempertahankan
prestasi yang telah didapatnya, di lain pihak temannya yang melihat akan ikut
termotivasi untuk memperoleh hal yang sama.
Sedangkan
hukuman atau sanksi sangat berperan penting dalam pendidikan anak sebab
pendidikan yang terlalu lunak akan membentuk anak kurang disiplin dan tidak
mempunyai keteguhan hati. Hukuman atau sanksi yang baik adalah tidak mematahka
motivasi anak didik. Bisa berupa pemberian tugas yang lebih denga tujuan agar anak dapat memperbaiki
tindakan yang akan ia lakukan.
Anak usia dini adalah anak yang
berada pada rentang usia 0 – 6 tahun dan mereka biasanya mengikuti program
prasekolah atau kindergarten.
Motivasi adalah dorongan atau
tenaga yang merupakan gerak jiwa dan
jasmani untuk berbuat. Jadi motif tersebut merupakan suatu driving force yang
menggerakkan manusia untuk bertingkah-laku, dan di dalam perbuatannya itu
mempunyai tujuan tertentu. Setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia selalu
di mulai dengan motivasi (niat).
Hasil belajar adalah suatu kemampuan
atau keterampilan yang dimiliki oleh siswa setelah siswa tersebut mengalami aktivitas belajar
Jadi pemberian punishment and reward
terhadap motivasi dan hasil belajar anak usia dini dapat di artikan sebagai,
pemberian suatu tindakan yang bersifat padegogik kepada anak usia prasekoah
dasar baik berupa punishment (hukuman) dan reward (penghargaan atau hadiah)
untuk meningkatkan suatu tujuan dalam pembelajaran dengan baik, sehingga di peroleh suatu prestasi atau
keterampilan dari anak didik yang efektif setelah ia mengalami aktivitas
belajar.
Langganan:
Postingan (Atom)