PRINSIP-PRINSIP
PEMBERIAN PENGHARGAAN DAN HUKUMAN
1.
Prinsip-Prinsip Pemberian Penghargaan
Pertama,
penilaian didasarkan pada ’perilaku’ bukan ’pelaku’. Untuk membedakan antara
’pelaku’ dan ’perilaku’ memang masih sulit, terutama bagi yang belum terbiasa.
Apalagi kebiasaan dan presepsi yang tertanam kuat dalam pola pikir kita yang
sering menyamakan kedua hal tersebut. Istilah atau panggilan semacam ’anak
shaleh’, anak pintar’ yang menunjukkan sifat ’pelaku’ tidak dijadikan alasan
peberian penghargaan karena akan menimbulkan persepsi bahwa predikat ’anak
shaleh’ bisa ada dan bisa hilang. Tetapi harus menyebutkan secara langsung
perilaku anak yang membuatnya memperoleh hadiah. Jadi komentar seperti ”Kamu
dikasih hadiah karena sebulan ini kamu benar-benar jadi anak shaleh”, harus
dirubah menjadi ”Kamu diberi hadiah bulan ini karena kerajinan kamu dalam
melaksanakan shalat wajib”.
Kedua,
pemberian penghargaan atau hadiah harus ada batasnya. Pemberian hadiah tidak
bisa menjadi metode yang dipergunakan selamanya. Proses ini cukup difungsikan
hingga tahapan penumbuhan kebiasaan saja. Manakala proses pembiasaan dirasa
telah cukup, maka pemberian hadiah harus diakhiri. Maka hal terpenting yang
harus dilakukan adalah memberikan pengertian sedini mungkin kepada anak tentang
pembatasan ini.
Ketiga,
penghargaan berupa perhatian. Alternatif bentuk hadiah yang terbaik bukanlah
berupa materi, tetapi berupa perhatian baik verbal maupun fisik. Perhatian
verbal bisa berupa komentar-komentar pujian, seperti, ’Subhanallah’,
Alhamdulillah’, indah sekali gambarmu’. Sementara hadiah perhatian fisik bisa
berupa pelukan, atau acungan jempol.
Keempat,
dimusyawarahkan kesepakatannya. Persepsi umum para orang dewasa, kerap
menyepelekan dan menganggap konyol celotehan anak. Bahwa anak suka bicara
ceplas-ceplos dan mementingkan diri sendiri memanglah benar, tetapi itu bisa
diatasi dengan beberapa kiat tertentu. Setiap anak yang ditanya tentang hadiah
yang dinginkan, sudah barang tentu akan menyebutkan barang-barang yang ia
sukai. Maka disinilah ditunutut kepandaian dan kesabaran seorang guru atau
orang tua untuk mendialogkan dan memberi pengertian secara detail sesuai
tahapan kemamuan berpikir anak, bahwa tidak semua keinginan kita dapat
terpenuhi.
Kelima,
distandarkan pada proses, bukan hasil. Banyak orang lupa, bahwa proses jauh
lebih penting daripada hasil. Proses pembelajaran, yaitu usaha yang dilakukan
anak, adalah merupakan lahan perjuangan yang sebenarnya. Sedangkan hasil yang
akan diperoleh nanti tidak bisa dijadikan patokan keberhasilannya. Orang yang
cenderung lebih mengutramakan hasil tidak terlalu mempermasalahkan apakah
proses pencapaian hasil tersebut dilakukan secara benar atau salah, halal atau
haram.
Sebuah contoh bisa dilahat pada sekolah yang membuat buku penilaian terhadap aktifitas shalat para siswa SD selama berada di rumah. Pihak sekolah tidak memiliki cara untuk mengetahui kebenaran pengisian buku tersebut. Pihak sekolah tidak merasa penting menilai alur proses yang terjadi dalam menumbuhkan kebiasaan siswanya shalat, tetapi hanya menstandarkan pemberian hadiah pada hasil saja, yaitu bukti yang tertera dalam buku pemantauan shalat tersebut.
Sebuah contoh bisa dilahat pada sekolah yang membuat buku penilaian terhadap aktifitas shalat para siswa SD selama berada di rumah. Pihak sekolah tidak memiliki cara untuk mengetahui kebenaran pengisian buku tersebut. Pihak sekolah tidak merasa penting menilai alur proses yang terjadi dalam menumbuhkan kebiasaan siswanya shalat, tetapi hanya menstandarkan pemberian hadiah pada hasil saja, yaitu bukti yang tertera dalam buku pemantauan shalat tersebut.
2. Prinsip-Prinsip Pemberian Hukuman
Pertama,
kepercayaan terlebih dahulu kemudian hukuman. Metode terbaik yang tetap harus
diprioritaskan adalah memberikan kepercayaan kepada anak. Memberikan
kepercayaan kepada anak berarti tidak menyudutkan mereka dengan
kesalahan-kesalahannya, tetapi sebaliknya kita memberikan pengakuan bahwa kita
yakin mereka tidak berniat melakukan kesalahan tersebut, mereka hanya khilaf
atau mendapat pengaruh dari luar.
Memberikan
komentar-komentar yang mengandung kepercayaan, harus dilakukan terlebih dahulu
ketika anak berbuat kesalahan. Hukuman, baik berupa caci maki, kemarahan maupun
hukuman fisik lain, adalah urutan prioritas akhir setelah dilakukan berbagai
cara halus dan lembut lainnya untuk memberikan pengertian kepada anak.
Kedua,
hukuman distandarkan pada perilaku. Sebagaimana halnya pemberian hadiah yang
harus distandarkan pada perilaku, maka demikian halnya hukuman, bahwa hukuman
harus berawal dari penilaian terhadap perilaku anak, bukan ’pelaku’ nya. Setiap
anak bahkan orang dewasa sekalipun tidak akan pernah mau dicap jelek, meski
mereka melakukan suatu kesalahan.
Ketiga,
menghukum tanpa emosi. Kesalahan yang paling sering dilakukan orangtua dan
pendidik adalah ketika mereka menghukum anak disertai dengan emosi kemarahan.
Bahkan emosi kemarahan itulah yang menjadi penyebab timbulnya keinginan untuk
menghukum. Dalam kondisi ini, tujuan sebenarnya dari pemberian hukuman yang
menginginkan adanya penyadaran agar anak tak lagi melakukan kesalahan, menjadi
tak efektif.
Kesalahan
lain yang sering dilakukan seorang pendidik ketika menghukum anak didiknya
dengan emosi, adalah selalu disertai nasehat yang panjang lebar dan terus
mengungkit-ungkit kesalahan anak. Dalam kondisi seperti ini sangat tidak
efektif jika digunakan untuk memberikan nasehat panjang lebar, sebab anak dalam
kondisi emosi sedang labil, sehingga yang ia rasakan bukannya nasehat tetapi
kecerewetan dan omelan yang menyakitkan.
Keempat,
hukuman sudah disepakati. Sama seperti metode pemberian hadiah yang harus
dimusyawarahkan dan didiologkan terlebih dahulu, maka begitu pula yang harus
dilakukan sebelum memberikan hukuman. Adalah suatu pantangan memberikan hukuman
kepada anak, dalam keadaan anak tidak menyangka ia akan menerima hukuman, dan
ia dalam kondosi yang tidak siap. Mendialogkan peraturan dan hukuman dengan
anak, memiliki arti yang sangat besar bagi si anak. Selain kesiapan menerima
hukuman ketika melanggar juga suatu pembelajaran untuk menghargai orang lain
karena ia dihargai oleh orang tuanya.
Kelima,
tahapan pemberian hukuman. Dalam memberikan hukuman tentu harus melalui
beberapa tahapan, mulai dari yang teringan hingga akhirnya jadi yang terberat.
Untuk itu kita perlu merujuk kepada al-Qur’an, seperti apa konsep tahapan
hukuman yang dibicarakan disana. Salah satu jenis kesalahan yang ditereangkan
secara jelas tahapan hukumannya adala mengenai istri nusyuz.
Difirmankan Allah dalam surat An-Nisa ayat 34:
Difirmankan Allah dalam surat An-Nisa ayat 34:
…wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka
di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu,
Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah
Maha Tinggi lagi Maha besar.
Adapun Ibnu Jama’ah memandang bahwa hukuman kependidikan dapat diberikan dalam empat tahapan. Jika siswa melakukan perilaku yang tidak dapat diterima, guru dapat mengikuti empat tahapan berikut:
Adapun Ibnu Jama’ah memandang bahwa hukuman kependidikan dapat diberikan dalam empat tahapan. Jika siswa melakukan perilaku yang tidak dapat diterima, guru dapat mengikuti empat tahapan berikut:
a. Melarang
perbuatan itu didepan siswa yang melakukan kesalahan tanpa menyebutkan namanya
b. Jika
anak tidak menghentikan, guru dapat melarangnya secara sembunyi-sembunyi, misal
dengan isyarat.
c. Jika
anak tidak juga menghentikannya, guru dapat melarangnya secara tegas dan keras,
agar yang dia dan teman-temannya menjauhkan diri dari perbuatan semacam itu.
d. Jika
anak tidak kunjung menhentikannya, guru dapat mengusirnya dan tidak
memperdulikannya.
3.
Keseimbangan Penghargaan dan Hukuman
Segala
sesuatu perlu ukuran, perlu keseimbangan. Yaitu proporsi ukuran yang sesuai
dengan kebutuhan masing-masing. Belum tentu ukuran tersebut harus berbagi sama.
Keseimbangan imbalan dan hukuman pun tidak berarti harus diberikan dalam porsi
sama, satu-satu.
Yang
akan dipakai sebagai standar keseimbangan adalah sama seperti standar yang
dipergunakan Allah SWT dalam memberikan pahala dan dosa bagi hamba-hambaNya.
Seperti kita ketahui, Allah menjanjikan pahala bagi manusia, untuk sekedar
sebuah niat berbuat baik. Manakala niat itu diwujudkan dalam bentuk sebuah
amal, Allah akan membalasnya dengan pahala yang bukan hanya satu, melainkan
berlipat ganda. Sebaliknya, Allah mempersulit pemberian dosa bagi hambaNya.
Nita untuk bermaksiat belumlah dicatat sebagai dosa, kecuali niat itu
terelaksana, itupun bisa segera Dia hapuskan ketika kita segera beristigfar.
Keseimbangan
inilah yang harus kita teladani dalam memberikan imbalan dan hukuman kepada
anak. Kita harus mengutamakan dan mempermudah memberikan penghargaan dan hadiah
kepada anak dan meminimalkan pemberian hukuman.
Metode
pemberian hukuman adalah cara tekhir yang dilakukan, saat sarana atau metode
lain mengalami kegagalan dan tidak mencapai tujuan. Saat itu boleh melakukan
penjatuhan hukuman. Dan ketika menjatukan hukuman harus mencari waktu yang
tepat serta sesuai dengan kadar kesalahan yang dilakukan.
Dorongan atau tenaga tersebut
merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk berbuat. Jadi motif tersebut merupakan
suatu driving force yang menggerakkan manusia untuk bertingkah-laku, dan di
dalam perbuatannya itu mempunyai tujuan tertentu. Setiap tindakan yang
dilakukan oleh manusia selalu di mulai dengan motivasi (niat). Menurut Wexley
& Yukl (dalam As’ad, 1987) motivasi adalah pemberian atau penimbulan motif,
dapat pula diartikan hal atau keadaan menjadi motif. Sedangkan menurut Mitchell
(dalam Winardi, 2002) motivasi mewakili proses- proses psikologikal, yang
menyebabkan timbulnya, diarahkanya, dan terjadinya persistensi kegiatan-
kegiatan sukarela (volunter) yang diarahkan ke tujuan tertentu.
Sedangkan menurut Gray (dalam
Winardi, 2002) motivasi merupakan sejumlah proses, yang bersifat
internal, atau eksternal bagi seorang individu, yang menyebabkan timbulnya
sikap antusiasme dan persistensi, dalam hal melaksanakan kegiatan- kegiatan
tertentu.
Morgan (dalam Soemanto, 1987)
mengemukakan bahwa motivasi bertalian dengan tiga hal yang sekaligus
merupakan aspek- aspek dari motivasi. Ketiga hal tersebut adalah: keadaan yang
mendorong tingkah laku (motivating states), tingkah laku yang di dorong
oleh keadaan tersebut (motivated behavior), dan tujuan dari pada tingkah
laku tersebut (goals or ends of such behavior). McDonald (dalam
Soemanto, 1987) mendefinisikan motivasi sebagai perubahan tenaga di dalam diri
seseorang yang ditandai oleh dorongan efektif dan reaksi- reaksi mencapai
tujuan. Motivasi merupakan masalah kompleks dalam organisasi, karena kebutuhan
dan keinginan setiap anggota organisasi berbeda satu dengan yang lainnya. Hal
ini berbeda karena setiap anggota suatu organisasi adalah unik secara biologis
maupun psikologis, dan berkembang atas dasar proses belajar yang berbeda pula
(Suprihanto dkk, 2003).
Soemanto (1987) secara umum mendefinisikan
motivasi sebagai suatu perubahan tenaga yang ditandai oleh dorongan efektif
dan reaksi-reaksi pencapaian tujuan. Karena kelakuan manusia itu selalu
bertujuan, kita dapat menyimpulkan bahwa perubahan tenaga yang memberi kekuatan
bagi tingkahlaku mencapai tujuan,telah terjadi di dalam diri seseorang.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa motivasi
adalah energi aktif yang menyebabkan terjadinya suatu perubahan pada
diri sesorang yang nampak pada gejala kejiwaan, perasaan, dan juga emosi,
sehingga mendorong individu untuk bertindak atau melakukan sesuatu dikarenakan
adanya tujuan, kebutuhan, atau keinginan yang harus terpuaskan.
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Motivasi
Motivasi seseorang sangat
dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu :
a. Faktor Internal; faktor yang berasal dari dalam diri individu, terdiri atas:
a. Faktor Internal; faktor yang berasal dari dalam diri individu, terdiri atas:
- Persepsi individu mengenai diri sendiri;
seseorang termotivasi atau tidak untuk melakukan sesuatu banyak tergantung
pada proses kognitif berupa persepsi. Persepsi seseorang tentang dirinya
sendiri akan mendorong dan mengarahkan perilaku seseorang untuk bertindak;
- Harga diri dan prestasi; faktor ini mendorong atau
mengarahkan inidvidu (memotivasi) untuk berusaha agar menjadi pribadi yang
mandiri, kuat, dan memperoleh kebebasan serta mendapatkan status tertentu
dalam lingkungan masyarakat; serta dapat mendorong individu untuk
berprestasi;
- Harapan; adanya harapan-harapan akan masa depan.
Harapan ini merupakan informasi objektif dari lingkungan yang mempengaruhi
sikap dan perasaan subjektif seseorang. Harapan merupakan tujuan dari
perilaku.
- Kebutuhan; manusia dimotivasi oleh kebutuhan untuk
menjadikan dirinya sendiri yang berfungsi secara penuh, sehingga mampu
meraih potensinya secara total. Kebutuhan akan mendorong dan mengarahkan
seseorang untuk mencari atau menghindari, mengarahkan dan memberi respon
terhadap tekanan yang dialaminya.
- Kepuasan kerja; lebih merupakan suatu dorongan afektif
yang muncul dalam diri individu untuk mencapai goal atau tujuan yang
diinginkan dari suatu perilaku.
b. Faktor Eksternal; faktor yang berasal dari luar diri individu, terdiri atas:
- Jenis dan sifat pekerjaan; dorongan untuk bekerja pada
jenis dan sifat pekerjaan tertentu sesuai dengan objek pekerjaan yang
tersedia akan mengarahkan individu untuk menentukan sikap atau pilihan
pekerjaan yang akan ditekuni. Kondisi ini juga dapat dipengartuhi oleh
sejauh mana nilai imbalan yang dimiliki oleh objek pekerjaan dimaksud;
- Kelompok kerja dimana individu bergabung; kelompok
kerja atau organisasi tempat dimana individu bergabung dapat mendorong
atau mengarahkan perilaku individu dalam mencapai suatu tujuan perilaku
tertentu; peranan kelompok atau organisasi ini dapat membantu individu
mendapatkan kebutuhan akan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, kebajikan
serta dapat memberikan arti bagi individu sehubungan dengan kiprahnya
dalam kehidupan sosial.
- Situasi lingkungan pada umumnya; setiap individu
terdorong untuk berhubungan dengan rasa mampunya dalam melakukan interaksi
secara efektif dengan lingkungannya;
- Sistem imbalan yang diterima; imbalan merupakan
karakteristik atau kualitas dari objek pemuas yang dibutuhkan oleh
seseorang yang dapat mempengaruhi motivasi atau dapat mengubah arah
tingkah laku dari satu objek ke objek lain yang mempunyai nilai imbalan
yang lebih besar. Sistem pemberian imbalan dapat mendorong individu untuk
berperilaku dalam mencapai tujuan; perilaku dipandang sebagai tujuan,
sehingga ketika tujuan tercapai maka akan timbul imbalan.
Rujukan buku :
- As’ad, Moh, 1998. Psikologi Industri. Yogyakarta: Liberty.
- Winardi, 1992. Manajemen Prilaku Organisasi. Bandung:
PT Citra Aditya Bakti.
- Soemanto, Wasty, 1987. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Bina Aksa
Hasil belajar menurut Anni (2004:4)
merupakan perubahan perilaku yang diperoleh pembelajar setelah mengalami
aktivitas belajar.
Hasil belajar menurut Sudjana
(1990:22) adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman
belajaranya.
Dari dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah suatu kemampuan atau keterampilan yang dimiliki oleh siswa setelah siswa tersebut mengalami aktivitas belajar.
Gagne mengungkapkan ada lima kategori hasil belajar, yakni : informasi verbal, kecakapan intelektul, strategi kognitif, sikap dan keterampilan. Sementara Bloom mengungkapkan tiga tujuan pengajaran yang merupakan kemampuan seseorang yang harus dicapai dan merupakan hasil belajar yaitu : kognitif, afektif dan psikomotorik (Sudjana, 1990:22).
Hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu :
Dari dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah suatu kemampuan atau keterampilan yang dimiliki oleh siswa setelah siswa tersebut mengalami aktivitas belajar.
Gagne mengungkapkan ada lima kategori hasil belajar, yakni : informasi verbal, kecakapan intelektul, strategi kognitif, sikap dan keterampilan. Sementara Bloom mengungkapkan tiga tujuan pengajaran yang merupakan kemampuan seseorang yang harus dicapai dan merupakan hasil belajar yaitu : kognitif, afektif dan psikomotorik (Sudjana, 1990:22).
Hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu :
- Faktor dari dalam diri siswa,
meliputi kemampuan yang dimilikinya, motivasi belajar, minat dan perhatian,
sikap dan kebiasaan belajar, ketekunan, sosial ekonomi, faktor fisik dan
psikis.
- Faktor yang datang dari luar
diri siswa atau faktor lingkungan, terutama kualitas pengajaran.
Hasil belajar yang dicapai siswa menurut Sudjana (1990:56), melalui proses belajar mengajar yang optimal ditunjukkan dengan ciri-ciri sebagai berikut.
- Kepuasan dan kebanggaan yang
dapat menumbuhkan motivasi belajar intrinsik pada diri siswa. Siswa tidak
mengeluh dengan prestasi yang rendah dan ia akan berjuang lebih keras
untuk memperbaikinya atau setidaknya mempertahankan apa yang telah
dicapai.
- Menambah keyakinan dan
kemampuan dirinya, artinya ia tahu kemampuan dirinya dan percaya bahwa ia
mempunyai potensi yang tidak kalah dari orang lain apabila ia berusaha
sebagaimana mestinya.
- Hasil belajar yang dicapai
bermakna bagi dirinya, seperti akan tahan lama diingat, membentuk
perilaku, bermanfaat untuk mempelajari aspek lain, kemauan dan kemampuan
untuk belajar sendiri dan mengembangkan kreativitasnya.
- Hasil belajar yang diperoleh
siswa secara menyeluruh (komprehensif), yakni mencakup ranah kognitif,
pengetahuan atau wawasan, ranah afektif (sikap) dan ranah psikomotorik,
keterampilan atau perilaku.
- Kemampuan siswa untuk
mengontrol atau menilai dan mengendalikan diri terutama dalam menilai
hasil yang dicapainya maupun menilai dan mengendalikan proses dan usaha
belajarnya.
Keterangan
Artikel :
Note: Bagi sobat atau pengunjung blog KUMPULAN ILMU, apabila menemukan posting, artikel, makalah yang ber-hak cipta, silakan konfirmasi lewat kolom komentar. secepatnya admin akan menggantinya dan kalau mas
Note: Bagi sobat atau pengunjung blog KUMPULAN ILMU, apabila menemukan posting, artikel, makalah yang ber-hak cipta, silakan konfirmasi lewat kolom komentar. secepatnya admin akan menggantinya dan kalau mas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar